Empat
bulan yang lalu saya adalah guru di SMA swasta favorit, dengan predikat RSBI.
Semua memandang lebih tinggi status sosial itu. Saya pun di depan para murid
menjadi figur yang diperhatikan, dicontoh. Berbagai motivasi saya berikan,
terutama untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Namun, saya pernah
merasakan apa itu UAN. Inilah kisah saya, ketika detik waktu, masih bernamakan
masa “SMA”.
Saya
mengikuti UAN pada tahun kedua penyelenggaraannya, 2004. Batas minimal
kelulusan pada saat itu adalah 4,01. Sebelum ada UAN, yang ada adalah EBTANAS
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Lalu setingkat UAS sekarang ada EBTA.
Masih
tertera di ijasah SLTP saya, nilai EBTA elektronika tiga koma sekian. Mengingat
kondisi demikian, ada kemungkinan nilai tiga akan menempel lagi di ijasah saya.
Kualitas Kami Sebenarnya
Kami
(saya dan teman-teman masa SMA) di masa itu adalah anak-anak jaman. Kami
bergerak sesuai apa yang kami lihat, yang kami contoh, apa yang tersaji di
media yang kami tangkap. Berkumpul, bersenang-senang, hingga mendapat nilai
ulangan harian berangka satu, dua, dan tiga, bukanlah hal yang langka. Kami
dibesarkan oleh sistem pendidikan, di mana kelulusan adalah keputusan bulat
dari sekolah. Maka bila saya bukanlah termasuk lima terbelakang di sekolah,
saya tak perlu khawatir tidak naik kelas. Tidak mungkin sekolah akan menggagalkan
lebih dari lima orang. Yang paling biasa hanyalah satu atau dua orang saja.
Pembicaraan
yang sering terjadi di saat berkumpul, bila soal pelajaran, adalah tidak
mengertinya kami dengan materi-materi di sekolah. Bukan salah gurunya memang.
Tapi karena kami tak pernah sejam pun membuka buku pelajaran di rumah, di
sekolah selalu asyik bercanda, dan melamun. Hasil ulangan harian dengan angka
satu, dua, tiga, sungguh sangat sering terjadi.
Tidak
semua memang seperti demikian, tapi percayalah, yang seperti itu bukan lima
orang saja!
Momok Bernama UAN
UAN
akhirnya menghampiri kami. Berdasarkan nilai para kakak tingkat di UAN
sebelumnya, angka tiga masih cukup sering ditemui, tapi mereka lulus dengan
batas minimum 3,01. Berbedakah kualitas kami dengan kakak tingkat? Bukankah
mereka adalah sosok yang kami contoh? Sosok di mana kami bertanya bila
berhadapan dengan kesulitan pelajaran? Yah, kami merasa kekuatan ini belum
cukup untuk mengalahkan UAN. Bahkan untuk mengalahkan kakak tingkat kami.
Persiapan
dilakukan pihak sekolah, mengadakan try out dan sejenisnya. Kami tak bisa
berubah secepat itu, kami tetap gunakan cara lama, mengerjakan semampunya,
mencontek teman semampunya, berdoa semampunya. Hasilnya dari proses yang tak
murni itu masih banyak yang tidak melewati batas minimum 4,01. Saya sendiri
berhasil lulus try out, namun saya tak menyadari prosesnya. Angka yang
tercantum di kertas hasil bukanlah angka murni dari kemampuan saya.
Sebagian
besar dari kami, akhirnya belajar dengan bantuan jasa-jasa pendidikan di luar
sekolah. Saya tidak mengikuti jalan itu, karena bagi saya, belajar di luar
bersama teman, hasilnya akan sama, yaitu bercanda dan bermain. Saya belajar
sendiri di rumah. Namun, pelajaran yang tak bisa saya tingkatkan dalam waktu
singkat adalah Bahasa Inggris. Sesering apapun saya belajar, grammer itu masih
terlalu sulit untuk dipahami.
Saya
sangat ketakutan dengan UAN Bahasa Inggris. Saya yakin, teman-teman juga
demikian, karena mereka adalah “saya yang lain”.
Mengandalkan Keberuntungan
dan Tuhan
Seorang
teman menjadi disiplin sholat lima waktu. Seorang yang lain bernazar dalam
sholat tahajud. Saya sendiri setiap malam Novena Tiga Salam Maria. Saya sangat
berserah pada Tuhan. Saya sangat yakin dapat melewati UAN ekonomi yang sangat
menakutkan bagi teman-teman. Tapi saya sungguh tidak yakin dengan Bahasa
Inggris.
Doa
tidak berhenti bersamaan dengan selesainya UAN. Kami benar-benar tidak yakin
dengan hasil kerja kami. Terlebih lagi kami sangat takut dengan sistem
pemeriksaan komputer yang bisa menggagalkan kami. Menunggu hasil pengumuman
kelulusan, menjadi hari-hari doa dan harap bagi kami.
Kami Lulus: Saya Terus
Bertanya
Kami
akhirnya lulus nyaris 100%, hanya dua orang saja yang terganjal, keduanya teman
sekelas di kelas satu dan dua. Saya sendiri menjadi yang terbaik kedua di kelas,
sepertinya juga di jurusan IPS. Pertama kalinya sejak TK saya masuk ke rangking
sepuluh besar. Saya masih menatap nilai Bahasa Inggris dengan angka empat koma
sekian. Hahaha… doaku terkabul, terima kasih Tuhan.
Saya
sampai saat ini masih terkenang saat itu. Sebuah momen di mana saya masih tidak
merasa begitu berharga, tidak merasa punya potensi. Nilai-nilai yang saya
dapat, sebagian besar, seperti datang dan hinggap di raporku, di ijasahku.
Namun, pada momen itulah Tuhan menjadi begitu baik pada kami semua. Tidak
peduli agama apapun itu. Doa kami dikabulkan.
Ketika
saya akhirnya bertemu seorang teman, yang mempertanyakan keberadaan Tuhan, saya
menjawah “Tuhan ada…”. Tuhan menyelamatkan saya, Dia menyelamatkan kakak saya
di UAN tahun lalu, Dia menyelamatkan saya dan sahabat-sahabat saya. Meskipun, dalam
beberapa kesempatan, saya masih mempertanyakan kelulusan saya di tahun 2004
itu.
Sekarang…