Paskah
akhirnya menghampiri kita lagi. Saat-saat permenungan puncak kisah sengsara
Yesus Kristus pun kembali mengetuk hati yang dingin ini. Teringat sejenak,
tentang sebuah julukan yang sempat menghampiriku, “Katolik Napas”, alias
“Katolik Natal dan Paskah”. Jelas saja, karena waktu-waktu SMP dan SMA bagi
saya, hanya menyentuh gereja di dua perayaan itu saja.
Apakah
untuk penebusan dosa, ataukah nalar saya sekarang makin membutuhkan Tuhan,
tahun-tahun terakhir saya begitu menikmati jalannya misa di gereja, detik per
detik. Jarang sekali rasa bosan muncul ketika beribadah di gereja, sebuah hal
yang sering muncul ketika masih bersekolah.
Mengikuti
perayaan “Tri Hari Suci”, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci (atau Malam
Paskah), ada beberapa ayat bacaan yang menggelitik saya. Apakah umat lain
merasakan, atau memang sudah sering diperbincangkan? Saya justru baru sadar
sekarang.
Sosialisme Pada
Perjamuan Paskah
Pada
Kamis Putih salah satu bacaan adalah tentang “Aturan Perjamuan Paskah”.
Demikian kutipannya “…hendaknya mereka masing-masing mengambil seekor anak
domba untuk satu keluarga… Tetapi apabila ada keluarga yang terlalu kecil untuk
menghabiskan seekor anak domba, hendaknya mereka itu menggabungkan diri dengan
keluarga tetangga, sehingga cukuplah jumlah orang. Perhitungan mengenai jumlah
orang, yang turut makan dari anak domba itu harus kamu buat menurut banyaknya
yang dapat dihabiskan masing-masing.”
Menurut
saya kutipan ini mengajak untuk saling berbagi. Janganlah menikmati sesuatu
secara berlebih, hendaklah yang berlebihan itu dibagikan. Masih teringat apa
yang saya baca dalam buku “Onze Ong”, penuturan langsung yang diberikan alm.
Ong Hok Ham, bahwa penguasa jaman dulu (Orde Baru) membuang tembakau ke laut
untuk menjaga harga pasarannya tetap tinggi. Atau juga di Kalimantan Barat pada
jaman Orde Baru, bertruk-truk jeruk dari Tebas, Sambas, dibiarkan membusuk,
demi menjaga harga pasaran. Tidak ketinggalan, sebuah hal yang sering
diperbincangkan, dan masih harus dibuktikan, bahwa restoran-restoran franchise membuang ke tong sampah
makanan-makanan yang tidak habis dijual. Padahal di dunia ini, angka kelaparan
masihlah sangat tinggi.
Perjamuan Paskah
Pada Perjanjian Baru
Sejak
perjanjian baru ada perubahan dalam tradisi paskah. “Yesus pada malam Ia diserahkan,
mengambil roti dan mengucap syukur, lalu membagi-bagikan roti itu …”. Dari
sebuah roti, Yesus membelah-belah roti itu dan membagikan pada para muridnya,
sehingga semua memperolehnya. Di luar adanya tafsir teologis yang metafisis, di
mana saya tidak kompeten menjelaskannya. Namun, peristiwa memecahkan roti dan
membagikannya, merupakan simbol tentang sosialisme. Dari roti yang satu kita
dapat memakannya bersama, walau pecahannya hanya kecil-kecil saja.
“Demikian
juga Ia mengambil piala sesudah makan, lalu mengedarkannya…”. Di sini juga
terlihat, bagaimana simbol kebersamaan, berbagi, sangat menonjol. Dari sebuah
piala, diedarkan, dan semuanya dapat meminumnya, walau sedikit-sedikit pula.
Penutup
Sosialisme
hanyalah sebuah konsep yang langsung muncul di pikiran saya, sebagai guru
sejarah. Masih banyak tafsir bebas yang bisa dilakukan dari kutipan-kutipan di
atas. Apakah itu disebut solidaritas, kebersamaan, atau pelayanan umum. Bahkan
di negara atheis pun, nilai-nilai demikian dapat disebut dengan kata lain.
Paskah
membawa sebuah permenungan, tentang keselamatan manusia. Dewasa ini keselamatan
manusia, dalam hal bebas dari kemiskinan belumlah benar-benar tampak. Ada
mereka yang kaya raya, tapi ada pula yang meninggal karena kelaparan. Dapatkah
kita menyalahkan si miskin karena kurang berusaha? Dan melihat kematian demi
kematian di depan mata kita secara acuh tak acuh. Apakah benar roti dunia ini
sudah dibelah bagi seluruh umat manusia? Ataukah ada roti-roti besar yang
dinikmati segelintir orang saja. Saya akhirnya teringat sebuah ayat favorit
“apa yang kaulakukan terhadap saudaramu yang paling hina, maka kau lakukan juga
terhadap-Ku (Tuhan)”.
Selamat
Paskah 2011