Selasa, 29 Juni 2010

Jatuh Birahi: Tak Ada Jatuh Cinta


Bagi anak SMA diskusi serius sangat jauh dari menarik. Tapi kemudian aku dan beberapa sahabatku senang sekali diskusi yang serius. Lalu kami tak menarik?! Hahaha logika yang lemah. Singkatnya hobi diskusi dan berpikir liar seperti menemukan tempat peraduannya di Yogyakarta, kota yang tak pernah kuimpikan saat SMA, dan ternyata aku kuliah juga di sana.
Kisah ini bermula dari diskusi ringan, nongkrong ringan, minuman ringan, di sebuah pondok tepi sungai, remang dan tenang. Berteman anak-anak kecoa (kecoa merupakan binatang yang paling kuat dan susah mati) seperti mereka sungguh kenangan terindah. Jujur saja, jika aku seperti seorang khalifah, penguasa, di program studiku, namun berhadapan dengan mereka aku seperti anak SD yang haus belajar dan berpikir.

Minggu, 27 Juni 2010

Bagaimana belajar? Mencoba belajar!

Aku mencoba belajar saat kelas 3 SMP. Waktu itu pelajaran fisika, aku takut dengan gurunya, dan akupun tak bisa pelajarannya. Karena takut itu, aku mencoba belajar. Bagaimana belajar?
Setiap malam selama 4 hari aku hanya membaca catatan fisika, dan akhirnya aku coba memahami kata per kata, dan rumus demi rumus. Yah… ternyata aku mengerti juga, Beginikah belajar?

Saat itu materinya tentang arus listrik (aku sama sekali lupa sekarang haha) dan aku duduk sebangku dengan Strenly, temanku yang pintar fisika karena les dengan guru yang bersangkutan.
Saat ulangan, aku merasa gugup, tapi berhasil juga kuhadapi. Soal nomor 10 sulit sekali, tidak ada di catatan. Namun, aku berhasil menjawabnya. Semuanya hitung-hitungan.

Selasa, 15 Juni 2010

Tak Mengerti Belajar (II): Masuk Sekolah Favorit


Pernah ku katakan, bahwa pertama kali secara sadar aku belajar adalah kelas 2 SMA semester 2. Nah, lalu bagaimana aku bisa menapaki hal itu tahap-demi tahap. Hal yang paling mengherankan beberapa kali terjadi. Salah satunya ketika aku menghadapi ujian kelulusan SD yang menggantarku ke SMP.
Aku masih tak mengerti belajar, pulang sekolah makan, tidur, dan bermain. PR jarang sekali aku kerjakan, dan muncul kebiasaan baru yaitu mengerjakan PR di sekolah. Beberapa kali dihukum guru, dan berhenti. Namun, kala terdesak, ilmu hitam lama itu muncul lagi.

Aku tak nakal, tapi juga tak pintar, rangking terakhir juga tak pernah.
Hingga tiba saatnya, kelas 6 SD, menghadapi ujian akhir sekolah.

Senin, 14 Juni 2010

Nyaris, selalu menjadi adik!

Ketika bapak dan mamaku mendaftarkan aku ke TK, sebenarnya sudah diperingatkan, bahwa aku masih terlalu kecil. Berdasarkan cerita, saat itu batas umur adalah bulan Juni di tahun kelahiranku. Sedangkan aku Oktober. Tidak jauh memang, namun suster selalu saja menolak. Bapakku memohon dengan alasan tidak ada yang menjaga di rumah. Maka, karena koneksi bapakku, akupun berhasil masuk TK.

Akibatnya selama bertahun-tahun aku selalu masuk kategori yang termuda di angkatanku. Sejak TK hingga kelas empat SD aku menjadi yang termuda. Di sekolah baru, kelas empat SD, ada satu orang yang lebih muda dariku, aku yang kedua termuda. Di SMP aku menjadi yang termuda keempat di kelas. Di SMA nyaris yang termuda selalu. Hingga ketika menduduki bangku kuliah aku menjadi yang termuda kedua di angkatanku. Padahal yang nama kuliah itu lintas umur, jadilah aku merasa beruntung berteman dengan mereka yang jauh lebih tua di atasku (beberapa seumuran abangku). Dan berteman dengan mereka, mengasyikkan.

Tak Mengerti Belajar


Sejujurnya aku baru mengerti belajar di kelas dua SMA semester kedua. Kenapa bisa aku berkata demikian? Tentu saja karena dalam kesadaranku, aku belajar baru pada kelas 2 SMA semester dua. Kisah lalu berikut, merupakan gambaran betapa aku tak mengerti apa itu belajar…

Di kelas satu SD aku tak pernah buat PR (nyaris tidak pernah). Setiap pulang ke rumah dan ditanya kakak sepupu “koko ada PR?” aku jawab “tidak ada…”. Mmhh… akhirnya aku memang tak pernah kerja PR. Bapakku dan Ibuku juga tak pernah memeriksa buku tugasku. Mungkin juga pernah, dan mungkin mereka hanya mengelus dada “anak kita masih kecil, dan terlalu muda untuk sekolah” (semua hanya pemikiranku). Dan tetap… aku tak pernah kerja PR.

Minggu, 13 Juni 2010

Teori Hutan dan Lahan (bagian II)

Pertanyaan akan bakat, membawaku pada sebuah kesadaran, bahwa bakat itu bukan hanya nongkrong menunggu durian runtuh. Maka dimulailah Teori Hutan dan Lahan…
“ Di sebuah daerah, terdapat sebidang lahan milik pak tani, yang baru akan bertani (atau berkebun, saya kira maksudnya bisa dimengerti), di mana sekitar lahan tersebut terdapat hutan belantara yang penuh dengan potensi hutan seperti berbagai jenis kayu, buah, umbi-umbian, bunga, dan tanaman merambat.
Lahan pak tani tentu saja memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi jenis tanahnya. Logikanya, yang juga disadari pak tani, bahwa lahannya dapat menghasilkan tanaman luar biasa bila ditanam dengan tanaman yang tepat, buah-buahan tertentu ataupun umbi-umbian tertentu saja.
Sebaliknya, lahan pak tani tetap dapat menghasilkan bila ditanam dengan bibit yang kurang tepat, tentunya dengan syarat, pak tani harus kerja keras untuk mengkondisikan lahannya.
Maka pak tani pergi ke hutan, mencari-cari tanaman apa yang akan dibudi-dayakan di lahannya… Mencari-cari… berharap menemukan tanaman yang cocok dengan lahannya. Namun, pak tanipun tak tahu tanaman apakah itu?
Apa yang harus dilakukan pak tani?
1) Pak tani mencoba mengambil berbagai jenis tanaman dan mencoba menanamnya di lahannya, dengan akibat kerjanya menjadi tidak teratur karena merawat berbagai jenis tanaman, hasil yang didapat juga hanya sedikit-sedikit.
2) Pak tani mencoba satu persatu tanaman yang ditemukannya di hutan, bila hasil di lahannya tidak maksimal, maka dia akan menggantinya dengan tanaman lain, begitu seterusnya. Akibatnya di setiap musim tanam, dia menanam tanaman yang selalu berbeda.
3) Pak tani menghabiskan waktu keliling hutan mencari buah yang benar-benar cocok, sambil berharap ada yang membisikkannya “hei… lahanmu cocok untuk tanaman belimbing!”. Namun, adakah yang membisikinya? Semoga ada… bila tidak???
4) Pak tani hanya perlu memilih buah apa yang dia sukai, dan dia akan menanamnya dengan sepenuh hati dan kerja keras, tanpa perlu memikirkan apakah buah ini cocok atau tidak.
Dari berbagai pilihan yang coba aku utarakan, tidak ada yang benar 100%, tentu saja karena hidup ini tak bisa diramalkan. Dalam kehidupan, mungkin saja kita menjadi yang beruntung menemukan tanaman yang cocok dengan lahan kita. Atau kita mencoba berbagai hobi namun tak pernah menekuninya. Atau ada yang berhasil mengetahui bakatnya melalui pengujian potensi diri. Dan tentu saja ada yang tidak…
Namun, bila anda tidak seberuntung yang lain, yang mungkin aku sarankan, dan juga aku pilih, adalah melakukan yang aku senangi dan bekerja keras dalam perjalanannya.”
Teori hutan dan lahan yang kubagikan dengan Anum dan Yayat, kemudian pernah kuutarakan dengan Ardus dan Tride, akhirnya selesai juga. Sambil berkata dalam hati untuk jangan kuatir dengan persoalan bakat. Yang perlu aku lakukan hanyalah melakukan yang aku senangi dengan serius dan bahagia.
Itulah teori dan hipotesisi terstrukturku untuk yang pertama kali di SMA.

Teori Hutan dan Lahan (bagian I)

Saat aku di posisi remaja, aku sudah merasa besar, dan merasa sudah mengetahui apa saja di dunia ini. Jika berkumpul sama Anum dan kemudian Yayat, isinya selalu saja tentang pemikiran. Ada apa dengan dunia ini? Terkadang juga mengutuk sekolah dan aturan-aturan yang berlaku. Untuk apa kita sekolah? Mengapa ada aturan seperti demikian?

Bila kemudian Anum mengenalkan aku dengan Friedrich Nietzsche, itu bukan menjadi sebab dari pemikiran yang liar dan bercabang-cabang ini. Yah, ada kepuasan bila berdiskusi dan mampu membuat dalil-dalil tentang pola hidup ini. Meskipun beberapa teman anak band mengatakan “berat…berat…” tetap saja kami nongkrong membahas dunia.

Pergaulan di SMA bisa dikatakan tidak sehat. Karena di lingkungan ini manusia dinilai dari tampilan luar, ganteng atau cantik, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, pemain basket atau bola, anak band atau OSIS. Menjadi bingung dan tak terlihat, mereka yang bukan di kelompok tersebut. Bukannya tidak ingin, tapi memang untuk masuk ke kelompok tersebut tidak mudah. Bagi kelompok tertentu membutuhkan keahlian yang lumayan rumit, kelompok lain membutuhkan uang dan koneksi, dan yang lain membutuhkan nilai bagus dan suka cari muka. Ha..ha…
Aku tergoyang oleh ombak-ombak itu, dan memilih tidak menjadi apa-apa.
Tentu saja sejujurnya sangat ingin sekali menjadi selebritis di sekolah, namun aku belum mengenal apa kekuatan dalam diri ini.

Kemudian mulailah hal yang paling mengesalkan dan terekan di alam bawah sadar hingga sekarang. Yah, kekuatan organisasi dan kelompok dibangun dengan hasil tunjuk-tunjuk tak jelas. Jadinya, lingkaran setan tercipta, sebuah organisasi setingkat OSIS, kepanitiaan acara, hingga tim basket diisi oleh orang-orang dekat. Bukannya ingin meragukan kemampuan mereka, tapi tetap saja main tunjuk-tunjuk itu tidak sehat. Ketika kuliah aku baru tau itu budaya “feodalisme”. Bah… pantas saja budaya kita sekarang ini tidak fair, tidak jelas, budaya feodal sudah terbentuk pada anak sekolah.
MAKANYA AKU TAK SUKA MAIN TUNJUK-TUNJUK TAK JELAS! HARUS ADA ALASAN SESEORANG MENEMPATI POSISI TERTENTU.

Karena kesal dengan sistem raja-raja di sekolah ABG akupun asyik nongkrong kecil-kecilan tidak jelas. Main gitar sumbang, nyanyi juga asal siap sumbang, ngerokok tidak (males…), jelajahin jalan-jalan baru yang belum dikenal, baca brosur-brosur punk, black metal, dan ternyata baru saya sadari sekarang… diskusi filsafat!
Kemudian aku mulai menggugat hidup ini, menanyakan mengapa aku tak punya keahlian, mulai menghibur diri dengan menunggu dan bertanya-tanya “apa bakatku ini???”. Hingga dalam sebuah permenungan, di usia 16 tahun, kelas 2 SMA, kuciptakan TEORI HUTAN DAN LAHAN.

(Bersambung)

Sabtu, 12 Juni 2010

Cerita Nama

Nama akhirku diambil dari bahasa latin, yang berarti “aku menang”. Sejujurnya aku sangat terinspirasi dengan nama ini.
Waktu aku SD dalam acara-acara keluarga, sering diceritakan:
Bahwa mama sudah menggunakan KB (dan saya tak tahu apa itu?), intinya mama tidak dapat punya anak lagi. Namun, terjadilah keajaiban (jika sekarang dibilang kecelakaanpun tak masalah, ha…ha…) aku hadir di dunia.
Makanya, bapak memilihkan bahasa latin tersebut “aku menang” sebagai tanda bahwa aku adalah seorang pemenang dalam hidup ini.
Dan aku sering bercerita, berlebihan di depan para orang tua, bahwa aku melihat pil KB tersebut di dalam perut mama, dan aku berkelahi hingga menjadi pemenang. Aku terinspirasi akan menjadi pemenang.
Bila saat sekarang aku belum menjadi pemenang, ataupun bila menang itu memang ada dan menjadi akhir, “kata” itu tetap selalu ada di bagian akhir namaku.
Sangat sulit untuk lupa dengan namaku sendiri.

Pindah Sekolah: Aku Bukan Lagi Pemenang

Nilai raporku untuk pelajaran Bu Galak itu enam semua, jadi rata-rata rapor enam koma. Guru galak itu juga menjadi wali kelasku, memegang 5 mata pelajaran. Aku masih merasa dimusuhi, dicuekin. Yang aku tak mengira hingga jangka waktu lama, bahwa bapakku mengirim “teguran” tertulis untuk guru tersebut, bahkan mungkin hingga ke kepala sekolah.
Jika sekarang kuingat, aku sangat bangga punya bapak seperti itu, membela anaknya, yang terpenting adalah percaya dengan anaknya. Yah… banyak orang tua tak percaya dengan anaknya, tapi tidak dengan bapakku. Hingga umurku kepala dua sekarang, bapak masih sangat percaya anaknya. Anaknya bukan kriminal, bukan penjahat, karena anaknya adalah jiwa dan raga yang telah dia rawat dengan cinta. Bila anaknya penjahat, maka dia juga. Mane ade ortu kayak gitu… Mantap kali ayahanda…
Singkat kata, singkat cerita, aku pindah sekolah. Kakakku yang tak ada sangkut paut, ikut pindah demi alasan kemudahan antar jemput.
Aku pemalu… dan di kelas empat sekolah baru ini aku terpaku membeku terdiam di satu tempat. Tak duduk karena tak disuruh duduk. Saat itu pelajaran olah raga, semua anak di lapangan, aku sendiri di kelas.
Seorang anak perempuan yang kemudian kuketahui ketua kelas) menyarankan untuk duduk. Duduk di mana??? Aku tak tahu.

Selesai olah raga, kelas ramai, setelah awal dicuekin, aku tak menyangka mereka menghampiriku dan bersalaman denganku. Aku bingung… dan mereka semua punya nama alias, ada doraemon, ada suneo, ada bola dan lain-lain. Di sekolah ini, aku tak lagi juara lari, mereka lebih hebat berolah-raga.
Aku bukan lagi pemenang, tapi aku melihat ada kesetiakawanan di sini. Di tempat ini pula, aku pertama kali bermain sepak bola.

(Lebaran dan Natal tahun 2009 lalu, ternyata kami melakukan reuni)

Guru Galak, Mati, Bangkit Pada Hari Ketiga (Aku Dibenci Guru)

Aku memang tak pintar, tak berbakat, pada saat itu. Aku berbeda dari anak-anak rangking terakhir karena aku tak nakal, mungkin itu saja. Namun, apa gunanya berbaik tingkah laku bila didasari rasa takut. Jadilah manusia-manusia munafik, yang manis di depan, tapi di belakang tak sehebat di depan.
Aku takut dengan guru galak itu. Bulu hidungnya keluar (aku mengamati saat berbaris paling depan, dan menengadah), rambut keriting sebahu mengembang, kulit putih pucat dengan urat-urat ungu dan hijau. Aku takut guru itu, juga dikarenakan cerita abang-abangku. Berdasarkan cerita, abangku sangat memusuhinya hingga bapak memindahkan sekolah abangku.
Hingga suatu saat…
Guru galak itu tak masuk sekolah.
Satu hari…
Dua hari…
Tiga hari…
Dan aku bercanda dengan temanku, “Bu … mati, bu … (nama kusamarkan) mati…” temanku terbahak-bahak. Kami bebas sekali rasanya, tanpa ketakutan.
Hari keempat…
Guru tersebut masuk, ketika pelajaran baru akan mulai,
“Bu… kemarin (namaku) bilang ibu mati” ujar seoarang anak yang tak naik kelas.
Bangsat!!! Umpatku dalam hati.
Guru menatapku dan berkata “iya.. saya memang mati, tapi pada hari ketiga saya bangkit!”.
Dan sejak saat itu, saya dibenci guru tersebut.

(waktu kelas 4)

Juara Lomba Lari

Ketika SD, kelas awal, tubuhku kurus, tulang rusuk dapat digunakan bermain orgen. Aku sakit asma saat itu, tiap bulan ke dokter, tak bisa lepas dari obat. Aku yakin, karena ringan tubuhku, kelas 2 SD aku mendapat penghargaan pertama. Juara lomba lari.
Landasan awal saat itu berpasir, aku memilih tak menggunakan sepatu. Tolakan awal cukup meragukan, namun aku berhasil finish pertama. Pada babak final, secara mental aku sudah kalah, karena aku sendiri ragu dan sudah cukup bangga dengan juara di babak penyisihan.
Yah, tak pernah tekun dan selalu merasa puas, adalah tabiat jelekku, dan akan kuubah sejak sekarang (aku tak mau mekanisme pembelaan diri, maka kuakui itu). Hasil final lomba lari itu, aku juara dua (II).
Besok paginya aku bercerita pada bapakku, “aku dak bisa matematika, aku dak bisa IPA, tapi aku juara lari”.
Masih hangat ingatan itu “setiap orang punya kehebatan masing-masing” ujar bapakku dan meraih tanganku.
Lampu saat itu kuning, menambah hangat dan kerinduan bila terkenang. Aku masih berkolor, malas pergi ke sekolah.

Menggugat Bakat!

Kira-kira 1992
Rasanya sudah cukup baik gambar ini. Tentu saja karena kuambil garis-garis lengkung dalam gambar, dengan sangat pelan sekali. Sangat pelan… pelan sekali… Aku tak ingin garis ini salah, atau keluar dari anganku, kugambar dengan genggam erat pensil itu. Ya, gambar seorang tokoh dari komik “Dragon Ball” berhasil kugambar. Aku suka sekali menggambar.
Hanya sesaat saja, semua berakhir…
Ketika kulihat gambar abangku.
Menurut cerita para tetua, aku menangis (namun aku tak ingat)…
“(suara tangisan)… koko dak bisa gambar kayak teyo, (suara tangisan).”
Di situlah mungkin alam bawah sadarku merekam, aku begitu cemburu pada orang berbakat. Aku menggugat bakat sejak saat itu.