Bila kemudian Anum mengenalkan aku dengan Friedrich Nietzsche, itu bukan menjadi sebab dari pemikiran yang liar dan bercabang-cabang ini. Yah, ada kepuasan bila berdiskusi dan mampu membuat dalil-dalil tentang pola hidup ini. Meskipun beberapa teman anak band mengatakan “berat…berat…” tetap saja kami nongkrong membahas dunia.
Pergaulan di SMA bisa dikatakan tidak sehat. Karena di lingkungan ini manusia dinilai dari tampilan luar, ganteng atau cantik, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, pemain basket atau bola, anak band atau OSIS. Menjadi bingung dan tak terlihat, mereka yang bukan di kelompok tersebut. Bukannya tidak ingin, tapi memang untuk masuk ke kelompok tersebut tidak mudah. Bagi kelompok tertentu membutuhkan keahlian yang lumayan rumit, kelompok lain membutuhkan uang dan koneksi, dan yang lain membutuhkan nilai bagus dan suka cari muka. Ha..ha…
Aku tergoyang oleh ombak-ombak itu, dan memilih tidak menjadi apa-apa.
Tentu saja sejujurnya sangat ingin sekali menjadi selebritis di sekolah, namun aku belum mengenal apa kekuatan dalam diri ini.
Kemudian mulailah hal yang paling mengesalkan dan terekan di alam bawah sadar hingga sekarang. Yah, kekuatan organisasi dan kelompok dibangun dengan hasil tunjuk-tunjuk tak jelas. Jadinya, lingkaran setan tercipta, sebuah organisasi setingkat OSIS, kepanitiaan acara, hingga tim basket diisi oleh orang-orang dekat. Bukannya ingin meragukan kemampuan mereka, tapi tetap saja main tunjuk-tunjuk itu tidak sehat. Ketika kuliah aku baru tau itu budaya “feodalisme”. Bah… pantas saja budaya kita sekarang ini tidak fair, tidak jelas, budaya feodal sudah terbentuk pada anak sekolah.
MAKANYA AKU TAK SUKA MAIN TUNJUK-TUNJUK TAK JELAS! HARUS ADA ALASAN SESEORANG MENEMPATI POSISI TERTENTU.
Karena kesal dengan sistem raja-raja di sekolah ABG akupun asyik nongkrong kecil-kecilan tidak jelas. Main gitar sumbang, nyanyi juga asal siap sumbang, ngerokok tidak (males…), jelajahin jalan-jalan baru yang belum dikenal, baca brosur-brosur punk, black metal, dan ternyata baru saya sadari sekarang… diskusi filsafat!Kemudian aku mulai menggugat hidup ini, menanyakan mengapa aku tak punya keahlian, mulai menghibur diri dengan menunggu dan bertanya-tanya “apa bakatku ini???”. Hingga dalam sebuah permenungan, di usia 16 tahun, kelas 2 SMA, kuciptakan TEORI HUTAN DAN LAHAN.
(Bersambung)
