Sejujurnya aku baru mengerti belajar di kelas dua SMA semester kedua. Kenapa bisa aku berkata demikian? Tentu saja karena dalam kesadaranku, aku belajar baru pada kelas 2 SMA semester dua. Kisah lalu berikut, merupakan gambaran betapa aku tak mengerti apa itu belajar…Di kelas satu SD aku tak pernah buat PR (nyaris tidak pernah). Setiap pulang ke rumah dan ditanya kakak sepupu “koko ada PR?” aku jawab “tidak ada…”. Mmhh… akhirnya aku memang tak pernah kerja PR. Bapakku dan Ibuku juga tak pernah memeriksa buku tugasku. Mungkin juga pernah, dan mungkin mereka hanya mengelus dada “anak kita masih kecil, dan terlalu muda untuk sekolah” (semua hanya pemikiranku). Dan tetap… aku tak pernah kerja PR.
Di sekolah apa kerjaku? Ketika Bu Guru akan memeriksa PR, aku menjatuhkan pensil di bawah meja, dan bersembunyi. Yah, kupikir sekarang, ternyata itu gaya burung unta. Ternyata saya kelas satu SD setingkat burung unta, ha..ha..ha.. Akhirnya di buku tugasku bertambah satu peringatan “tidak mengerjakan PR”, dan harus ditandatangan orang tua.
Mengapa aku masih tidak mengerjakan PR bila buku tugasku ditanda tangan orang tua? Itulah perbedaan anak baik, pendiam, dan pemalu. Bila bodoh tidak akan dimarah, melainkan disayang. Ha..ha..
Akhirnya nilaiku semua di bawah enam, tidak bisa membaca, tidak bisa menulis rapi, dan tidak bisa menghitung, dan di caturwulan ketiga, aku diprediksi tidak naik kelas.
Orang tuaku dipanggil datang ke sekolah menemui wali kelas. Mamaku datang berbincang-bincang, dan aku bergayutan di tangan mama, diam dan santai. Akhirnya akupun ditanya mamaku “adek klo dak naik kelas gimana?” aku menjawab “harus naik kelas!”. Apa dasarku berbicara demikian, apa alasan otakku yang setingkat burung unta menumpahkan kata demikian? Dan pertanyaan selanjutnya oleh Bu guru, aku jawab “harus naik kelas!”. Di rumah, pertanyaan yang sama diajukan sepupu-sepupuku, jawabaku masih sama “harus!”.
Aku pun kembali mengikuti aktivitas di kelas, entah apa penghiburan yang diberikan bu guru untuk mamaku.
Sewaktu SD, hasil ulangan umum selalu dibagikan. Selesai semua ulangan umum, aku tanpa ekspresi apa-apa membawa hasil ulangan umumku yang hasilnya beberapa sembilan (9). Orang rumah kaget semua, kepalaku dibelai-belai. Yah aku naik kelas ke kelas 2, dan aku merasa biasa-biasa saja.
Dan yang paling sering kakak sepupuku bicarakan “ternyata aku bisa membaca”.
Akupun tak pernah tahu, kapan aku bisa membaca, semua terjadi begitu saja. Setahuku, majalah Bobo itu menarik sejak berbulan-bulan yang lalu. Sejak itukah??? Aku saat itu masih tak mengerti apa itu belajar.
(cerita yang sering dinostalgiakan saat kami sekeluarga berkumpul)