Sabtu, 12 Juni 2010

Pindah Sekolah: Aku Bukan Lagi Pemenang

Nilai raporku untuk pelajaran Bu Galak itu enam semua, jadi rata-rata rapor enam koma. Guru galak itu juga menjadi wali kelasku, memegang 5 mata pelajaran. Aku masih merasa dimusuhi, dicuekin. Yang aku tak mengira hingga jangka waktu lama, bahwa bapakku mengirim “teguran” tertulis untuk guru tersebut, bahkan mungkin hingga ke kepala sekolah.
Jika sekarang kuingat, aku sangat bangga punya bapak seperti itu, membela anaknya, yang terpenting adalah percaya dengan anaknya. Yah… banyak orang tua tak percaya dengan anaknya, tapi tidak dengan bapakku. Hingga umurku kepala dua sekarang, bapak masih sangat percaya anaknya. Anaknya bukan kriminal, bukan penjahat, karena anaknya adalah jiwa dan raga yang telah dia rawat dengan cinta. Bila anaknya penjahat, maka dia juga. Mane ade ortu kayak gitu… Mantap kali ayahanda…
Singkat kata, singkat cerita, aku pindah sekolah. Kakakku yang tak ada sangkut paut, ikut pindah demi alasan kemudahan antar jemput.
Aku pemalu… dan di kelas empat sekolah baru ini aku terpaku membeku terdiam di satu tempat. Tak duduk karena tak disuruh duduk. Saat itu pelajaran olah raga, semua anak di lapangan, aku sendiri di kelas.
Seorang anak perempuan yang kemudian kuketahui ketua kelas) menyarankan untuk duduk. Duduk di mana??? Aku tak tahu.

Selesai olah raga, kelas ramai, setelah awal dicuekin, aku tak menyangka mereka menghampiriku dan bersalaman denganku. Aku bingung… dan mereka semua punya nama alias, ada doraemon, ada suneo, ada bola dan lain-lain. Di sekolah ini, aku tak lagi juara lari, mereka lebih hebat berolah-raga.
Aku bukan lagi pemenang, tapi aku melihat ada kesetiakawanan di sini. Di tempat ini pula, aku pertama kali bermain sepak bola.

(Lebaran dan Natal tahun 2009 lalu, ternyata kami melakukan reuni)