Selasa, 15 Juni 2010

Tak Mengerti Belajar (II): Masuk Sekolah Favorit


Pernah ku katakan, bahwa pertama kali secara sadar aku belajar adalah kelas 2 SMA semester 2. Nah, lalu bagaimana aku bisa menapaki hal itu tahap-demi tahap. Hal yang paling mengherankan beberapa kali terjadi. Salah satunya ketika aku menghadapi ujian kelulusan SD yang menggantarku ke SMP.
Aku masih tak mengerti belajar, pulang sekolah makan, tidur, dan bermain. PR jarang sekali aku kerjakan, dan muncul kebiasaan baru yaitu mengerjakan PR di sekolah. Beberapa kali dihukum guru, dan berhenti. Namun, kala terdesak, ilmu hitam lama itu muncul lagi.

Aku tak nakal, tapi juga tak pintar, rangking terakhir juga tak pernah.
Hingga tiba saatnya, kelas 6 SD, menghadapi ujian akhir sekolah.

Teman-temanku saat itu les privat dengan guru dan wali kelas. Setiap sore, guru datang ke rumah beberapa temanku dan membahas soal di sana. Aku beberapa kali ditawari, dan sejujurnya tawaran tersebut menarik sekali. Yah, tawaran temanku bukanlah agar bisa les, melainkan asal bisa berkumpul terus dan bermain. Menarik bukan??? Namun, aku tak ikut. Kenapa? Nah ini lagi mental alam bawah sadarku yang selalu membayangi. Aku selalu saja mengira bahwa kami (ortu) selalu tak punya uang. Maklum, saat SD uang jajanku hanya mencapai 300 rupiah. Hal tersebut tak pernah aku utarakan pada bapakku. Hingga ketika aku kuliah baru kusadari sebenarnya bapak dan mamaku cukup mampu untuk menanggung beban kehidupan ini. Namun, mereka mengajarkan hal yang selektif pada anak-anaknya.

Aku tetap tak mengikuti les privat bersama temanku.
Aku tetap tak mengerti belajar itu apa, bagaimana, dan mengapa?
Ujian akhir SD diadakan, aku mengikutinya dengan seperti biasa seperti lalu-lalu.
Nilai diumukan, aku mendapat NEM 38 dengan lima mata pelajaran. Artinya 7,6. Nilai yang bagus, mengingat rata-rata umum di kotaku adalah sekitar 30 atau 6. Aku masih tak mengerti bagaimana nilai itu aku peroleh, bahkan hingga sekarang. Aku ingat betul, orang seperti apa aku. Aku hanya mengerti sedikit pelajaran! Ada apa ini?

Hingga di masa-masa berikutnya, sering kuutarakan kepada teman dan kenalan, bahwa aku ditolong Tuhan. Aku percaya Tuhan ada, dan besertaku, buktinya, aku dibantu melewati tahap demi tahap kehidupan ini. Bahkan ketika itu nyaris mustahil. Hanya harus kusadari, aku tak bisa selamanya mengandalkan keberuntungan magis ini. Aku harus menjadi manusia yang sadar dengan kemampuanku. Tapi, itu masih jauh… Ini saja masih kelas 6 SD.

Karena nilaiku bagus, aku memilih untuk masuk ke sekolah terbaik di kota khatulistiwa ini. Dari sekolah asalku yang swasta Katolik, hanya ada enam orang saja yang ke sekolah ini. Beberapa diantaranya masih percaya dengan pendidikan swasta. Sebenarnya bagiku sendiri, sekolah itu tergantung pada muridnya, daya juangnya, dan bekal dari keluarga. Bukan pada prestise sekolah, fasilitas, yang akhirnya berdampak pada mahalnya pendidikan. Aku berani beragumentasi untuk itu!

Masuk ke sekolah favorit tentu sangat membanggakan. Semua yang ada di sana, adalah pemenang di sekolah asalnya dahulu. Ketika ada keluarga yang bertanya, maka aku akan dikira pintar. Dikira??? Dikira??? Yah, tentu saja aku tidak pintar. Karena belajar saja aku belum mengerti???