Aku memang tak pintar, tak berbakat, pada saat itu. Aku berbeda dari anak-anak rangking terakhir karena aku tak nakal, mungkin itu saja. Namun, apa gunanya berbaik tingkah laku bila didasari rasa takut. Jadilah manusia-manusia munafik, yang manis di depan, tapi di belakang tak sehebat di depan.
Aku takut dengan guru galak itu. Bulu hidungnya keluar (aku mengamati saat berbaris paling depan, dan menengadah), rambut keriting sebahu mengembang, kulit putih pucat dengan urat-urat ungu dan hijau. Aku takut guru itu, juga dikarenakan cerita abang-abangku. Berdasarkan cerita, abangku sangat memusuhinya hingga bapak memindahkan sekolah abangku.
Hingga suatu saat…
Guru galak itu tak masuk sekolah.
Satu hari…
Dua hari…
Tiga hari…
Dan aku bercanda dengan temanku, “Bu … mati, bu … (nama kusamarkan) mati…” temanku terbahak-bahak. Kami bebas sekali rasanya, tanpa ketakutan.
Hari keempat…
Guru tersebut masuk, ketika pelajaran baru akan mulai,
“Bu… kemarin (namaku) bilang ibu mati” ujar seoarang anak yang tak naik kelas.
Bangsat!!! Umpatku dalam hati.
Guru menatapku dan berkata “iya.. saya memang mati, tapi pada hari ketiga saya bangkit!”.
Dan sejak saat itu, saya dibenci guru tersebut.
(waktu kelas 4)